"Sing Penting Iso Dhisik!" Sebuah Dorongan Untuk Terus Belajar

Dari sejak kecil, ayah saya selalu mengajarkan tentang konsep dan semangat untuk terus belajar kepada anak-anaknya, khususnya mempelajari hal-hal baru. Misalnya saat saya pertama kali belajar naik motor. Alih-alih motor 'bebek' milik kami atau skuter, saya langsung belajar berkendara menggunakan motor sport/motor 'laki' (waktu itu keluarga kami memiliki motor jenis sport dan 'bebek'). Teorinya sih sebenarnya gampang saja: Kalau saya bisa mengendarai motor sport—yang relatif lebih susah karena menggunakan kopling manual—maka saya bisa mengendarai semua jenis motor. Benar saja, hanya dalam waktu sekitar dua hari, saya sudah bisa mengendarai motor "laki" meskipun belum lancar dan sering mengalami mati mesin. Setelah lancar, saya langsung bisa mengendarai jenis motor apapun. Di waktu lain, ayah juga meminta saya belajar mengendarai mobil, meskipun keluarga kami belum punya mobil. Harapannya, nanti saya tak perlu lagi repot mengambil kursus mengemudi saat memiliki mobil sendiri. "Sing penting iso dhisik (yang penting bisa dahulu)," kira-kira begitu ucapan ayah.

Namun di balik ucapan sederhana itu, tersimpan makna dan harapan yang besar. Sepenggal kalimat itu merupakan dorongan agar kami—anak-anaknya—mau terus belajar tentang apapun, mempelajari berbagai hal baru dalam setiap aspek kehidupan, menambah pengetahuan, dan meningkatkan potensi kami sebagai insani. Tak peduli jika kami tidak bergelut di bidang yang sedang kami pelajari itu atau kami belum memiliki apapun itu. Harapannya, kami menjadi manusia yang bermanfaat dan mengetahui (jika tak boleh dibilang menguasai) banyak hal—serba bisa.

Prinsip ayah saya tentunya juga berlaku di bangku pendidikan, tempat di mana siswa-siswi dididik untuk menjadi manusia-manusia berpotensi, berkapasitas dan berkapabilitas tinggi. Di sekolah, kita diajarkan mengoperasikan berbagai aplikasi di komputer (meski sebagian dari angkatan saya dahulu, mayoritas belum memiliki komputer di rumah karena saat itu masih merupakan barang mewah). Manfaatnya, saya langsung bisa beradaptasi dengan dunia kerja yang memerlukan banyak penggunaan teknologi komputerisasi.

Namun apakah prinsip itu sepenuhnya benar? Tentu saja, selama kita masih menggunakannya dalam koridor moralitas. Artinya, kita bisa saja mempelajari hal-hal baru selama itu bermanfaat untuk pengembangan diri dan demi kebaikan banyak orang. Gambarannya begini—seperti yang saya tuliskan di atas, di sekolah kita diajarkan berbagai macam ilmu, tentunya untuk mempersiapkan diri kita menghadapi dunia kerja dan bermasyarakat nantinya. Tapi saya yakin sekolah tak akan pernah mengajarkan kita untuk menjadi teroris dengan bekal pengetahuan dan kemampuan yang kita miliki untuk menebar ketakutan di masyarakat.

Dorongan untuk terus belajar ini juga bisa diterapkan di lingkungan pekerjaan; kita memiliki kemampuan untuk terus belajar dan tidak membiarkan diri kita stagnan. Meskipun kita bekerja di suatu bidang, tak ada salahnya mempelajari bidang lain, dengan harapan nanti jika suatu saat terjadi rotasi posisi pekerjaan, mutasi, atau promosi, kita bisa bisa meminimalisir kesulitan dan cepat beradaptasi.

Dalam bukunya berjudul Range yang membahas perbandingan antara generalis dan spesialis, David Epstein menuliskan bahwa melalui serangkaian penelitiannya, ia menemukan orang luar biasa yang justru sukses karena beragamnya pengalaman dan minatnya (generalis). Jika ada spesialis yang sukses dan unggul di bidangnya, itu lebih karena pengecualian—salah satunya karena mereka memang dididik dan dilatih sejak usia dini, bukan aturan umum. Tidak, saya tidak mengatakan saya orang sukses karena mempelajari begitu banyak hal. Namun, setidaknya mungkin itu adalah tumpuan untuk memulai kesuksesan dan mengidentifikasi minat saya pada bidang tertentu.

Dalam konteks lain, terlebih dahulu belajar untuk bisa nerimo juga diperlukan di saat kita menghadapi kompleksitas permasalahan dalam hidup. Saat kita memutuskan untuk berbisnis misalnya, kita terlebih dahulu harus belajar mengatasi kendala, risiko, dan konsekuensi apabila mengalami kerugian. Dengan terlebih dahulu belajar nerimo, kita bisa mengikhlaskan kemudian mengambil pelajaran berharga supaya kerugian tidak terulang di masa mendatang. Pun demikian juga dengan permasalahan yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita mau belajar bagaimana mengikhlaskan dan mengambil makna, maka kebahagiaan akan datang dengan sendirinya.

Dulu sebelum menikah, saya menjalankan gaya hidup yang berantakan dan "berbahaya". Namun seiring berkembangnya pola pikir dan usia, saya mulai belajar bagaimana menghargai setiap nafas, umur, dan kemampuan saya sendiri sebagai seorang pria. Bahkan, saya belajar mengendalikan emosi—sesuatu hal yang dahulu sangat sulit saya lakukan. Saya juga belajar bagaimana mendidik anak dengan baik. Caranya dengan banyak membaca dan mengamati orang lain. Jika saya ingin belajar menjadi seorang ayah, maka saya mengamati ayah-ayah yang sedang berinteraksi dengan anaknya. Hal yang baik saya simpan dan coba kembangkan, hal buruk seperti memukul anak juga saya simpan untuk pembelajaran dan peringatan supaya tidak mempraktikkannya di kemudian hari. Kini saya sudah menjadi seorang ayah dari putri yang luar biasa lincah dan aktif. Meskipun seringkali merepotkan, namun saya—hingga saat ini—tak pernah sekalipun memukulnya. Tapi apakah saya berhenti belajar menjadi ayah yang baik? Tidak. Tak pernah ada kata berhenti untuk belajar, apalagi demi orang tercinta. Sejatinya, pembelajaran dan kepemimpinan adalah dua hal yang berlangsung selamanya.
 
Namun sepertinya, prinsip iso dhisik ini tak sepenuhnya digunakan dalam koridor moralitas. Momen yang paling banyak terjadi dan gampang dilihat adalah saat Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), begitu banyak calon pemimpin yang dalam masa kepemimpinannya menebar janji muluk dan program-program yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat. Namun ketika berhasil menjadi pemimpin, sepertinya mereka kebingungan merealisasikan janji-janji dan program-program mereka. Bahkan, setelah sekian lama duduk di "singgasana", tiba-tiba mereka menjadi pesakitan kasus korupsi. Bagi mereka, yang terpenting adalah menjadi pemimpin dhisik, urusan lain belakangan. Mereka lupa mempelajari lebih dahulu masalah apa yang menjadi isu terpenting di masyarakat dan bagaimana strategi mengatasinya. Mereka mungkin lupa—atau tidak mau—belajar bagaimana memanfaatkan wewenang dan kekuasaan sehingga bisa menyejahterakan rakyatnya. Mereka tak mau belajar bagaimana menjadi pemimpin yang amanah.

Distorsi lain yang nampak adalah adanya money politics dan black campaign dalam pesta demokrasi. Jelas saja, wakil-wakil rakyat ini memegang teguh prinsip "Sing penting iso dhisik" untuk memuluskan jalan mereka merengkuh jabatan tertentu. Ya, yang penting bisa menjadi pejabat dahulu. Pada akhirnya, mereka akan menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modal mereka yang terkuras (balik modal).

Intinya adalah, prinsip "Sing penting iso dhisik" tidak akan lekang oleh berubahnya zaman, selama masih digunakan dalam koridor moralitas dan konteks yang positif (kebaikan). Siapapun yang bisa menjalankan sekaligus menjaga prinsip ini akan menjadi manusia yang berdaya guna, potensial, dan bermartabat. Ya, saya juga tak akan pernah berhenti belajar. Bagaimana dengan Anda? Mau belajar hal baru mulai hari ini? Selamat belajar!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention