Krisis Listrik di Kota Medan, Sumatera Utara

Tak bisa digambarkan lagi bagaimana kekecewaan, kekesalan, dan kesedihan warga Sumatera Utara, khususnya Kota Medan, kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sumatera Bagian Utara (Sumbagut). Bagaimana tidak, setiap hari Kota Medan harus mengalami pemadaman listrik selama berjam-jam, dengan frekuensi hingga tiga atau bahkan empat kali. Parahnya lagi, pemadaman bergilir bukan hanya terjadi di tahun ini, namun telah bertahun-tahun. Bahkan pernah sekali atau dua kali Kota Medan dilanda gelap total (blackout). Medan adalah kota besar namun miskin listrik. Sungguh ironis dengan pesatnya pembangunan infrastruktur.

Penyebab Krisis Listrik Menurut Pihak PLN

Tak pernah jelas apa penyebab krisis listrik yang melanda Kota Medan, namun PLN Sumbagut selalu beralasan karena kurangnya daya pembangkit listrik. Kenapa bisa defisit? Mungkin itulah pertanyaan pokok yang jawabannya perlu diungkapkan ke publik dengan transparan. Apakah semua itu disebabkan oleh korupsi? Mungkin saja.

Setelah melakukan penelitian dengan mengumpulkan berbagai referensi di media, saya menyimpulkan ada beberapa penyebab PLN Sumbagut (mungkin) mengalami defisit daya listrik, diantaranya:
  1. Kapasitas pembangkit tidak cukup. Sebenarnya PLN sudah menyiapkan megaproyek dalam Program Percepatan 10.000 Megawatt selama dua tahap, namun berbagai kendala mengakibatkan keterlambatan penyelesaian megaproyek bernilai triliunan rupiah ini. Kendala-kendala tersebut bermacam-macam versi, antara lain izin pembangunan pembangkit listrik tidak kunjung keluar; pembangunan pembangkit listrik terkendala faktor pembebasan lahan; kontraktor yang tidak mampu menyelesaikan perkerjaan tepat pada waktunya (PLN menggunakan kontraktor asal Cina, sehingga terkendala jarak dan komunikasi); hingga masalah klasik: Korupsi. 
  2. Semakin tingginya permintaan listrik dari masyarakat sebagai efek dari pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya taraf hidup atau gaya hidup. Namun seharusnya sebagai korporat yang memonopoli bisnis listrik, hal ini tidak pantas dijadikan alasan. PLN harus menganggap ini sebagai tantangan kemudian menyeimbangkan produksi, distribusi dengan permintaan konsumen. Lagipula, meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan tingginya daya beli merupakan salah satu indikator keberhasilan program pembangunan ekonomi.
  3. Kurangnya pasokan gas sebagai sumber energi Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU). Hal ini disebabkan oleh belum selesainya proyek revitalisasi Arun-Belawan berupa pembangunan pipa gas.
  4. Mesin pembangkit listrik disegel oleh Kejaksaan Agung sebagai buntut dari adanya dugaan korupsi dalam proyek pengadaan mesin pembangkit listrik (turbin) di Belawan. Terkait kasus ini, enam orang pejabat PLN ditahan oleh Kejaksaan Agung. Tak tertutup kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah seiring lanjutnya penyelidikan. Sebagai tambahan informasi, kecurangan yang dilakukan oleh para pejabat PLN adalah ketidaksesuaian barang dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam dokumen kontrak pengadaan barang. Akibat kecurangan ini, negara diperkirakan rugi hingga puluhan miliar rupiah.
Apapun alasannya, sebagai satu-satunya penyedia listrik, PLN memiliki kewajiban untuk memberikan listrik kepada masyarakat selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, hal ini sesuai dengan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Tahun 2011-2020. Kalaupun ada masalah atau kepentingan terkait pemeliharaan peralatan yang mengharuskan listrik dipadamkan, saya rasa masyarakat juga tak keberatan, selama dilakukan secepatnya dan dengan adanya pemberitahuan terlebih dahulu, serta jaminan penyelesaian masalah dan ketepatan waktu.

Kini, seiring krisis listrik yang terjadi selama bertahun-tahun di Sumut, PLN—menurut saya—berusaha menggiring opini publik untuk memberikan simpati dan menelan bulat-bulat alasan yang mereka buat di media massa tentang penyebab krisis listrik seperti saya tuliskan di atas. Namun, apapun alasannya, adalah kewajiban PLN untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, sebagaimana masyarakat telah memenuhi kewajibannya untuk membayar tagihan listrik.


PLN Merugi

Satu hal lagi yang membuat saya heran adalah PLN selalu menyatakan mengalami kerugian hingga triliunan rupiah, padahal mereka telah memonopoli pasar listrik di Indonesia. Penyebab kerugian PLN pun beragam; mulai dari utang luar negeri yang menumpuk (melemahnya kurs rupiah juga menjadi alasan PLN merugi karena utang mereka berupa valuta asing), PLN tak mendapatkan cukup pasokan gas sebagai sumber energi pembangkit listrik mereka, hingga adanya warisan utang dan kerugian dari direksi sebelumnya.

Tahukah Anda, utang PLN mencapai dua ratusan triliun rupiah? Utang-utang itu berupa valuta asing yang sumber pinjamannya berasal dari lembaga-lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank (Bank Dunia), juga dari lembaga-lembaga yang mewakili suatu negara; misal Bank Jepang, Bank Perancis, dan sebagainya. Jika Indonesia sampai mengalami krisis moneter seperti tahun 1998 lalu, dipastikan PLN akan kolaps dan gulung tikar. Itulah sebabnya PLN harus menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan/atau mengurangi distribusi listrik kepada masyarakat. Apapun opsi yang diambil, keduanya menjadikan masyarakat sebagai korban, padahal telah melaksanakan kewajiban membayar tagihan listrik.


Dampak Pemadaman

Dampak pemadaman listrik berkepanjangan sangat merugikan masyarakat Kota Medan. Seperti diketahui, pemadaman listrik di Kota Medan tidak mengenal waktu dan bisa terjadi kapan saja dengan durasi berjam-jam. Pagi, siang, sore, hingga malam hari tak luput dari pemadaman listrik. Bahkan saat dini hari sekalipun. Tentunya hal ini sangat mengganggu masyarakat yang ingin beraktivitas atau beristirahat.

Di pagi hari, ketika masyarakat sedang bersiap untuk bekerja, para siswa bersiap untuk pergi ke sekolah, dan ibu rumah tangga menyiapkan keperluan suami dan anak-anak mereka, tiba-tiba listrik padam. Belum lagi dampak yang terjadi di perkantoran, perhotelan, atau sarana ibadah dan sosial lainnya. Pekerjaan rumah tangga menjadi terhambat, proses belajar-mengajar terganggu, piranti elektronik mengalami kerusakan, bahkan dalam beberapa kasus terjadi kebakaran akibat korsleting.

Rumah tangga, perhotelan, perkantoran, maupun industri harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli genset dan bahan bakar. Hal ini menimbulkan dampak sistemik tersendiri. Biaya rumah tangga membengkak, bahkan beberapa keluarga harus mengurangi jatah kebutuhan hidup mereka sehari-hari; profit perusahaan berkurang; biaya industri pun membengkak, memaksa mereka melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) demi mengurangi anggaran belanja perusahaan, jumlah pengangguran pun meningkat. Hal ini tentu saja bertentangan dengan program pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Di malam hari, listrik yang tiba-tiba padam sangat mengganggu masyarakat yang ingin bersantai dan beristirahat setelah letih melakukan aktivitas dari pagi hingga sore hari. Tidak berfungsinya kipas angin atau penyejuk udara membuat susah tidur, belum lagi ditambah dengan serangan nyamuk. Bahkan berisiko meningkatkan angka kriminalitas seperti perampokan, pencurian, hingga pemerkosaan. Tidak berfungsinya lampu jalan juga bisa menyebabkan kecelakaan akibat tidak terlihatnya jalan rusak dan berlubang, pengendara lain tidak terlihat; lampu lalu lintas tak berfungsi menyebabkan kemacetan parah.

Hari Minggu pun tak luput dari pemadaman listrik. Akibatnya, umat kristiani yang akan menjalankan ibadat menjadi terganggu. Pun demikian dengan masyarakat yang sedang melakukan aktivitasnya di rumah atau sekedar menikmati liburan akhir pekan.

Di manakah tanggung jawab PLN? Ketika masyarakat harus rela membayar denda atau dikenai sanksi akibat keterlambatan pembayaran tagihan listrik, bagaimana dengan kompensasi yang seharusnya mereka dapatkan untuk produk—listrik—yang terabaikan? Di mana kompensasi atas kerusakan piranti elektronik mereka? Apa ganti-rugi terhadap anak-anak didik kita ketika proses belajar mereka terganggu? Tak ada kompensasi sedikit pun dari PLN, bahkan dalam bentuk pengurangan tagihan sekalipun. Dalam hal ini, konsumen bukan raja, melainkan budak yang setiap saat bisa dikorbankan demi kepentingan dan tujuan PLN. Jika ke depan tidak ada perbaikan layanan dari PLN, maka saya kira gerakan boikot bayar rekening listrik di Kota Medan akan semakin menjamur sebagai bentuk protes lebih lanjut terhadap bobroknya kinerja PLN, dan saya pikir masyarakat tidak bisa disalahkan untuk hal itu. Bahkan di beberapa wilayah, terjadi aksi anarki berupa pengrusakan kantor PLN. 


Solusi Versi Penulis

Ada beberapa solusi jika dilihat berdasarkan penyebab krisis listrik di Kota Medan, namun demikian saya tidak memasukkan peningkatan TDL sebagai salah satunya, karena bagaimanapun konsumen tetap harus diutamakan, apalagi dalam hal ini masyarakat Kota Medan terlalu banyak dan terlalu sering dirugikan. Pun demikian dengan penyelesaian proyek pembangkit listrik yang merupakan kewajiban PLN. Solusi-solusi tersebut antara lain:

  1. Optimalkan sektor privat (swasta). Selama ini PLN terkesan egois dan memonopoli bisnis listrik di Indonesia, tetapi mereka selalu beralasan merugi setiap tahun. Jika memang PLN tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan listrik masyarakat, sebaiknya memberikan kesempatan kepada perusahaan swasta. Selama ini sektor swasta hanya berperan dalam pembangunan dan pengelolaan pembangkit listrik, bukan sebagai penyedia penuh. Dengan demikian, masyarakat bisa memilih perusahaan supplier listrik. Sisi positifnya adalah diharapkan tercipta persaingan bisnis yang sehat antara PLN dengan sektor swasta, sehingga menjadi motivasi tersendiri bagi kedua belah pihak untuk memberikan layanan terbaik.
  2. Melakukan penghematan pemakaian listrik di segala sektor (rumah tangga, perkantoran, industri, perhotelan, pusat perbelanjaan, dan sebagainya). Tak dipungkiri juga, masih banyak masyarakat kita yang kurang memahami esensi pemakaian listrik sepenuhnya. Memang konsekuensi membengkaknya tagihan listrik ditanggung sendiri, namun ada baiknya melakukan penghematan demi kepentingan dan kenyamanan bersama. Hentikan pola pikir (mindset) bahwa listrik adalah sumber daya yang dapat diperbaharui dan tidak terbatas, mulailah berfikir bahwa ketersediaan listrik adalah warisan untuk generasi mendatang. Gunakan listrik hanya seperlunya saja, matikan piranti elektronik jika tidak digunakan atau tidak ada yang memanfaatkan.
  3. Merancang semacam program mirip Earth Hour, seperti ajakan untuk mematikan listrik selama 1 (satu) jam. Intinya sama-sama pemadaman listrik, namun program Earth Hour bersifat sukarela. Saya yakin banyak masyarakat akan ikut berpartisipasi, apalagi tanpa adanya paksaan atau pemadaman listrik paksa dari PLN. Seperti diketahui, masyarakat bersedia menyumbangkan koin untuk diberikan kepada PLN (Program Koin Untuk PLN), jadi saya rasa masyarakat juga tak akan keberatan mengikuti program Earth Hour, minimal mampu mengurangi penggunaan daya listrik. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, diperlukan strategi persuasif nan kreatif dari pihak pemerintah daerah dan PLN.


Fakta Ironis di Kota Medan

Ada fakta ironis dibalik klaim PLN yang menyatakan bahwa Sumut—khususnya Kota Medan—mengalami defisit listrik sehingga mereka meminta masyarakat melakukan penghematan penggunaan daya listrik. Di beberapa lokasi di Kota Medan, seperti areal Merdeka Walk, Jalan Diponegoro, Jalan Imam Bonjol, dan di beberapa titik lokasi lain terdapat sebuah videotron (layar iklan raksasa—Large electronic Display) yang cahayanya menyilaukan mata siapapun yang melintas di sekitarnya. Namun tahukah Anda bahwa sebenarnya videotron yang menggunakan teknologi Light-Emitting Diode (LED) diklaim lebih hemat energi ketimbang lampu halogen—biasa digunakan untuk lampu sorot papan iklan konvensional. Namun demikian, cahaya sangat terang yang dipancarkan oleh videotron sangat mengganggu para pengguna jalan.


Videotron di Medan
Videotron di Jalan P. Diponegoro & Kantor Walikota Medan

Lalu ada juga lampu-lampu sorot raksasa yang kerap menerangi langit Kota Medan di malam hari. Namun belakangan, lampu-lampu itu kini tak bersinar lagi. Usut punya usut, ternyata jajaran Pemko Medan menerapkan program penghematan energi, salah satunya dengan mematikan lampu sorot. Walaupun mungkin terlambat, karena krisis listrik di Kota Medan telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Selain itu, ada juga gedung-gedung pusat perbelanjaan baru bermunculan di Kota Medan yang berlomba-lomba menarik konsumen untuk berkunjung kesana. Salah satunya adalah Medan Centre Point (MCP)superblock mall terbesar di Kota Medan- yang memasang layar LED raksasa di salah satu sisinya. Terkesan megah dan atraktif memang, namun sebaiknya perlu dikelola sebaik mungkin pengoperasiannya agar cahayanya tidak mengganggu pengguna jalan yang kebetulan sedang melintas di sekitar Lapangan Benteng dan Stasiun Kereta Api Kota Medan, selain itu diupayakan sehemat mungkin pemakaian listrik dan pemotongan jam operasionalnya.


Layar LED raksasa di Medan Centre Point (MCP)
Layar LED raksasa yang terpasang di dinding Medan Centre Point (MCP).


Imbas Krisis Listrik Hingga ke Aceh?

Entah ada hubungannya atau tidak, namun sepertinya imbas krisis listrik di Sumut kini merambat hingga ke Aceh. Belum ada sumber pasti apa penyebab pemadaman bergilir yang terjadi setiap hari di wilayah Aceh. Di Banda Aceh, pemadaman terjadi minimal sekali dalam sehari dengan durasi hingga tiga jam. Namun demikian, menurut beberapa sumber referensi, pemadaman listrik di Aceh terjadi dikarenakan adanya gangguan jaringan, defisit daya, dan/atau adaya gangguan suplai arus listrik melalui jaringan interkoneksi dari Provinsi Sumut.


Opini Warga Kota Medan


"Seringnya terjadi pemadaman listrik sangat mengganggu dan menghambat kegiatan sehari-hari. Pekerjaan rumah tangga banyak tertunda, akibatnya harus kejar-kejaran dengan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Pemadaman di malam hari juga membuat waktu tidur tak nyaman. Pokoknya pemadaman listrik di Kota Medan sudah sangat parah. Hak masyarakat tidak diberikan seutuhnya, tapi tuntutan untuk memenuhi kewajiban bayar ditekankan. Kecewa dengan pelayanan yang diberikan PLN."
(Epi Friesta Dewi  Hasibuan, 23 tahun, menikah, Karyawati swasta).

"Lebih baik alihkan PLN ke swasta. Namanya Perusahaan Listrik Negara—Indonesia; permasalahannya sudah didengar negara-negara tetangga, memalukan! Cerita Kota Medan; Medan sudah maju, gedung-gedung tinggi dimana-mana, bandaranya besar amat: Kualanamu International Airport. Tapi malam hari gelap semua. Hampir tiap malam dalam beberapa pekan belakangan, Medan—yang kota maju, berubah menjadi kota mati, kota hantu, atau apalah.
Efek berkelanjutan pemadaman listrik, semua juga sudah tahu; siswa-siswi jadi susah belajar, perusahaan besar hingga kecil merugi, dampaknya ke karyawan atau buruh sudah pasti, parahnya kena PHK. Kemacetan dimana-mana karena lampu lalu-lintas mati, adu otot di jalan raya. Dan yang hebatnya lagi, kebakaran hampir terjadi setiap malam. Efek negatifnya terlalu banyak untuk diceritakan.
Jadi penanggulangannya gimana dari pemerintah dan PLN? Gak tahu tuh, sudah diusahakan katanya, tapi tetap padam juga. Entah memang usaha atau hanya alasan. Sepertinya pemadaman di Medan/Sumut sudah jadi musiman, bahkan setiap tahun bisa dua musim. Hebatlah pokoknya!
Ini hanya secuil topik pemadaman listrik di Medan, belum lagi topik jalan-jalan bekas galian gak karuan dimana-mana,berdebu, berlubang.
Medan? Ya begitulah! Horas!"
(Stefanus, 33 tahun, karyawan swasta, anggota komunitas motor Ninja Owners Club Medan).

"Sebenarnya negara ini sudah gagal sejak awal. Lihat aja di UUD 1945 pasal 33 ayat (2) dan (3).
Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Udah kelihatan negara ini negara perampok kan?!
Ayat (3): Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dipergunakan apa? Yang ada diperjual-belikan; air beli, minyak beli, gas beli. Cuma bernafas yang masih gratis. Harusnya ayat tersebut berbunyi: Diperjual-belikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran para penguasa.
Pemadaman listrik oleh PLN menurutku tentang uang dan korupsi. Analisanya sederhana saja; PLN sejak tahun 2005 terus menyewa genset beribu-ribu KWH (Kilowatt-Hour) dan menghabiskan miliaran rupiah untuk biaya sewa. Kenapa harus menyewa? Jika negara ini punya uang miliaran rupiah, beli aja mesin genset. Sejak tahun 2005 semua rakyat dikenakan tarif listrik yang semakin lama semakin mahal, kenapa tak bisa beli mesin genset baru? Kan aneh! Kalau beralasan kekurangan bahan bakar, kembali lagi ke pasal 33 ayat (3), negara ini memiliki banyak minyak. Ke mana minyaknya?
Kesimpulannya, jika kita berbicara tentang pemadaman listrik di Kota Medan, kita pasti membicarakan korupsi dan sudah jelas ini korupsi.
Bicara tentang dampak negatif pemadaman listrik, jangan ditanya lagi, terlalu banyak untuk dijabarkan. Tapi ada juga sisi positifnya: terbukanya lapangan kerja baru sebagai 'Pak Ogah', 'Polisi Cepek', atau apalah namanya; walau malah bikin macet.
Satu lagi, disini pihak pertamanan, atau apalah yang  berwenang, juga mesti berpikir cerdas, sudah tahu Medan krisis listrik, tapi tetap memberikan izin pembangunan reklame berukuran besar, dan screen LCD yang menggunakan listrik gila-gilaan di malam hari. Padahal seandainya semua reklame di Medan ditiadakan listriknya, aku yakin setidaknya satu kecamatan akan terselamatkan dari pemadaman listrik."
(Denni Arman, 35 tahun, wiraswasta, bassis grup band Cranium).



Blog ini didedikasikan sebagai #ArticleOfTheMonth Blogger Medan Community bulan Maret 2014 dengan tema "Blackout - Pemadaman Listrik".


Penulis,
Arisandy Joan Hardiputra
ARISANDY JOAN HARDIPUTRA

Komentar

  1. Wahhh, lengkap, jelas, padat, pedas.. pokonya ulasannya lengkap banget, perlu belajar dari bang cen nih.. :)

    Dan semoga tidak ada pemdaman bergilir lagi dikota Medan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, kok pake pedas pula, Rudi?

      Semoga janji PLN gak Jambu (Janjimu Busuk) kayak yang selama ini terjadi.

      Hapus
    2. hahah, semoga saja lah bang.. :D

      Hapus
  2. keren postingannya,,,,, tempatku udah 4 hari aman
    semoga lekas kelar yaa, alhamdulillah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Wi!
      Di rumahku, kemarin sekitar pukul 14.00 WIB ada pemadaman lagi sampai jam 17.00 WIB.
      Gak tau nih kapan beresnya masalah listrik.

      Hapus
  3. Mantaab ulasannya, mas Bro ...Secara tidak langsung semua itu menunjukkan PLN tidak bisa membuat perencanaan yang matang. Berapa kebutuhan yg harus disediakan dengan perkiraan pertumbuhan di masa depan dengan kapasitas yang dipunyai.
    Negara kita melimpah sumber daya, tapi belum bisa digunakan secara optimal, dengan alasan klasih ..... keterbatasan dana. Padahal dana bisa dicari. Yg namanya investasi pasti perlu dana yg besar, namun hal itu tidak berarti harus modal sendiri. Masih banyak sumber alam yg bisa dimanfaatkan, yg penting ... ada planning dan political will yg jelas ... ganti pimpinan, belum tentu nyambung programnya ... Lanjut terus, mas bro .... Sekali lagi. .. acungan jempol untuk tulisannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mas Faiz!

      Masalah dana emang selalu jadi alasan paling laris, logis, dan (harus) bisa diterima umum. Tapi bukankah justru itu pekerjaan rumah PLN yang segera diperlukan solusinya?! Investasi dan optimalisasi sumber daya alam bisa jadi salah satu cara, asalkan implementasinya gak dikotori dan dicurangi dengan praktek-praktek yang melanggar hukum.

      Semoga negara kita menjadi jauh lebih baik ke depannya.

      Hapus

Posting Komentar

Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.

Postingan populer dari blog ini

Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi

Takdirmu Tidak Akan Melewatkanmu

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention