Antara Konser Grup Band Idola, Pertandingan Tim Sepak Bola Favorit di Jakarta, dan Istri

Kesamaan antara konser grup band idola, pertandingan tim sepak bola favorit di Jakarta, dan istri saya adalah: semuanya jauh dari jangkauan dan memerlukan pengorbanan waktu dan biaya yang besar.

Di masa mudanya dulu, ayah saya adalah seorang musisi dan penggemar musik rock. Ini dibuktikan dengan koleksi foto jadul-nya yang mengkusam di dalam album-album foto di rumah orang tua saya, juga koleksi kaset yang memenuhi hampir semua rak kaset. Tak heran jika ayah saya juga jago bermain gitar, apapun aliran musiknya.

Sewaktu saya masih duduk di bangku awal SMA, bakat bermain gitar ayah sepertinya memang menurun (kini bakat itu diteruskan lagi ke adik bungsu saya). Saya memutuskan untuk membentuk sebuah band bersama dengan para sahabat—beberapa diantaranya teman semasa SMP. Posisi saya sebagai gitaris utama (lead guitar). Nama band saya pertama kali adalah KEP's, yang terinspirasi dari nama panggilan untuk seorang gadis gebetan saya semasa SMA dulu. Band yang pertama ini beraliran konvensional (pop, alternative rock).

Beberapa kali kami menjalani pentas di panggung, mulai dari panggung lokal, hingga mencoba peruntungan di ajang festival musik. Hobi baru ini rupanya mulai mempengaruhi kehidupan saya sehari-hari. Tadinya, koleksi kaset saya yang kebanyakan adalah koleksi album boyband (yang tenar pada saat itu—Boyzone, Backstreet Boys, Fun Factory, dan sebagainya) bergeser menjadi koleksi grup band (Netral, Scope, Funky Kopral, The Offspring, dan sebagainya). Selain itu, setiap hari saya berusaha mengasah kemampuan memainkan gitar, bahkan terkadang meminta ayah untuk mengajari atau memberikan trik-trik bermain gitar yang baru. Hasilnya, lumayan: saya bisa menyetem gitar hanya dengan mengandalkan feeling, berimprovisasi saat bermain solo, dan bahkan menciptakan teknik handle/grip fretboard sendiri untuk hampir semua kord/kunci gitar. Teknik yang terakhir ini sering membingungkan teman-teman yang mencoba mencontek kord lagu yang sedang saya mainkan.

Sayangnya, saat itu terjadi kesalahpahaman antara saya dengan rekan-rekan, yang memaksa saya mengundurkan diri dari KEP's. Di masa-masa inilah saya mengenal dekat seorang sahabat yang juga metalhead (penggemar musik heavy metal), StevanoVano—biasa kami memanggilnya—memperkenalkan saya dengan dunia musik yang sama sekali baru (bahkan jenis musik ini lebih cadas/keras dibandingkan jenis musik rock yang banyak dikoleksi oleh ayah). Jika aliran musik rock penuh dengan karakter vokal yang tinggi hingga melengking (scream), maka aliran musik yang baru saya kenal ini—biasa disebut heavy metal—sarat dengan berbagai macam karakter vokal, namun didominasi oleh growl/throat—teknik menyanyi dengan menggunakan suara serak/berat yang berasal dari tenggorokan.

Lagu dan grup band pertama yang dikenalkan ke telinga saya adalah lagu Wait and Bleed milik grup band SlipknoT yang diambil dari album SlipknoT tahun 1999. Perpaduan karakter vokal growl, scream, dan melodic milik Corey Taylor—sang vokalis—ditambah irama musik yang penuh distorsi dan 'sakit jiwa', serta tampilan para personilnya yang mengenakan topeng seram benar-benar membuat saya terpesona dan langsung jatuh cinta pada band asal Iowa, A.S, dan tentu saja: musik heavy metal.


SlipknoT
SlipknoT. Foto diambil dari roadrunnerrecords.com
Karena merasa tertarik dengan dunia baru ini, maka ajakan Vano untuk membentuk sebuah band beraliran heavy metal pun langsung saya terima. Namun karena belum terlalu memahami jenis musik cadas yang penuh dengan distorsi, maka kali ini saya memainkan bass, bukan lagi gitar seperti sebelumnya. Dari sini saya mulai mengenal teknik-teknik baru, diantaranya low string: mengatur setelan nada menjadi lebih rendah, tujuannya untuk mendapatkan distorsi maksimal dan memudahkan perpindahan jalur antar kord dan senar pada gitar.

Pada teknik low string, pengaturan urutan nada pada gitar tidak lagi mengacu pada aturan konvensional (E-B-G-D-A-E) namun bisa berubah menjadi apapun yang diinginkan/diperlukan (misal: E-B-G-C-G-D). Tak jarang, gitaris band heavy metal menggunakan gitar yang dibuat khusus menggunakan tujuh buah senar. Tujuannya sama dengan teknik low string: untuk mendapatkan nada rendah dan memaksimalkan distorsi. Selain itu, saya juga mempelajari teknik lanjut dari string bending/pinch: menaikkan/menurunkan nada dengan cara menarik senar pada fretboard. Namun di musik heavy metal, mayoritas lebih banyak menaikkan nada menggunakan bending dengan tempo singkat, hingga menghasilkan bunyi melengking.

Pengalaman tampil di atas panggung pertama kalinya membawakan musik heavy metal benar-benar berkesan dan membuat saya ketagihan. Bagaimana tidak? Sensasi memainkan instrumen sambil meloncat-loncat dan headbanging benar-benar pengalaman berbeda untuk saya. Aksi-aksi ini memompa adrenalin dan benar-benar sebuah bentuk relaksasi dan refreshing yang tidak biasa. Dengan teriak, meloncat, dan headbanging, membuat saya mampu melepaskan diri sejenak dari hal-hal negatif dan rutinitas menjemukan yang saya jalani sehari-hari. Bonusnya: tak ada perkelahian di antara komunitas musik cadas saat menonton konser atau parade musik, tak seperti konser musik konvensional.

Pandangan saya tentang musik cadas/underground adalah jenis musik bagi para pemuja setan seketika sirna saat saya mempelajari genre musik heavy metal Hard Core (metalcore). Musiknya memang keras dan penuh distorsi, namun jauh dari pemujaan setan, liriknya justru berisi kritikan-kritikan sosial, politik, dan bahkan ekonomi. Semua disampaikan begitu lugas, berani, dan apa adanya. Mayoritas menentang peperangan, kediktatoran, dan korupsi. Perlu diketahui bahwa musik yang masuk ke dalam kategori Underground terbagi-bagi menjadi banyak aliran, yang paling banyak dikenal adalah Hard Core, Metalcore, Death Metal, Black Metal, dan Trash Metal; masing-masing memiliki karakteristiknya.

Band heavy metal kami bernama BRISICK, merupakan plesetan dari kata Berisik—seperti bagaimana musik kami terdengar—dan kata Sick yang berarti muak/gila (kami muak akan hal-hal negatif dan mainstream, kami gila-gilaan dalam membawakan musik kami). Musik BRISICK terinspirasi dari SEPULTURA, KoRn, SICK OF IT ALL, dan COAL CHAMBER, karenanya tagline kami saat itu adalah Totally Hard CoreBRISICK sempat membuat demo album yang secara rutin diputar di salah satu acara di radio lokal. Hingga kini BRISICK masih eksis meski hampir seluruh personilnya telah berganti.

Saya sendiri, masih menggilai SlipknoT. Tak tanggung-tanggung, saya mulai mengkoleksi segala pernak-pernik mengenai SlipknoT, tiap malam belajar dalam kamar yang seketika dipenuhi dengan poster dan stiker SlipknoT sambil memasang radio heavy metal. Kami pentas dari panggung ke panggung, mulai dari panggung sekolah hingga parade di luar kota. Intinya, saya jatuh cinta pada musik heavy metal dan menjadi fan kelas berat SlipknoT.

Mengenal dan mempelajari musik heavy metal membuat saya berinisiatif memadukan musik metal dan konvensional untuk menyeimbangkan skill dan jiwa. Akhirnya, saya kembali membentuk band baru dengan sahabat-sahabat lama saya di KEP's. Nama band baru ini: LOW LIPID, karena para anggotanya saat itu memiliki tubuh yang kurus. Lipid adalah senyawa organik yang mengandung unsur lemak di dalamnya (LOW LIPID = Rendah Lemak). Mencoba tampil beda, kali ini kami membawakan lagu-lagu beraliran blues, funk, dan klasik dengan kombinasi sedikit jazz). Musik LOW LIPID banyak terinspirasi dari Carlos Santana, Funky Kopral, dan bahkan Tohpati.

Pengalaman di bidang musik membuat saya menyukai hampir segala macam jenis musik. Ini salah satu alasan saya yang hingga saat ini menyimpan banyak sekali koleksi musik bermacam aliran di ponsel, mulai dari klasik, pop, alternatif, jazz, techno-dance, J-rock, hingga yang dominan, tentu saja, heavy metal. Maka tak salah saat grup band luar negeri favorit menggelar tur atau konser di Indonesia, maka saya tak ingin melewatkannya. Hasilnya? Nihil.

Setelah lulus SMA, saya menempuh pendidikan Prodip I Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) di Cimahi, Jawa Barat. Selama periode ini, saya absen dari dunia panggung dan sebatas menikmati musik heavy metal secara pasif: dari radio, televisi, parade, dan multimedia lain. Saya kembali bergabung di sebuah band heavy metal saat tinggal di Jakarta dan masih berstatus sebagai pegawai magang di Kantor Pusat Departemen Keuangan R.I. Selama periode sembilan bulan tinggal di ibu kota tanpa adanya jadwal tur atau konser dari grup band luar negeri yang menjadi idola saya. Hingga akhirnya saya pun dipindahtugaskan ke Kota Medan pertengahan tahun 2003.

Februari 2004, KoRn menggelar konsernya di Jakarta. Grup band ini merupakan legenda di dunia metal. KoRn adalah pencipta aliran Nu-metal. Album perdananya—KoRn, rilis tahun 1999—hingga saat ini merupakan salah satu album metal paling melegenda, bersejarah, dan paling dicari metalheads (saya termasuk yang beruntung memilikinya). KoRn adalah salah satu grup band yang menginspirasi saya. Bahkan saat manggung pertama kali bersama BRISICK, kami membawakan lagu mereka berjudul Blind. Sayangnya, saat KoRn menggelar konser di Jakarta, saya telah berdomisili di Kota Medan dan baru saja diangkat sebagai PNS. Impian menonton langsung konser KoRn sambil berjingkrak memompa adrenalin tak pernah menjadi kenyataan.


KoRn
KoRn. Foto diambil dari greatsong.net



Mei 2012, L~Arc~en~Ciel (biasa disebut Laruku di Indonesia) menggelar konser perdananya di Indonesia. Seperti biasa, Jakarta sebagai ibu kota menjadi lokasi konser mereka. Para penggemar band Jepang ataupun anime (kartun Jepang) pasti mengenal grup band ini. Saya menjadi fan Laruku semenjak menyaksikan serial anime berjudul Rurouni Kenshin (di Indonesia berjudul Samurai X)—Kisah seorang samurai yang juga mantan pembantai di era Tokugawa (jaman Edo) yang insaf. Karena tidak ingin membunuh lagi, Kenshin Himura—nama tokoh utama—berkelana dan mencari kedamaian, bahkan dia membuat pedang khusus yang mata tajamnya terbalik supaya tidak membunuh musuh atau orang jahat. Nah, Laruku menjadi salah satu grup band yang mengisi soundtrack (lagu tema) serial ini. Lalu apakah saya menghadiri dan menonton langsung konser Laruku di Jakarta? Sekali lagi, tidak. Lagi-lagi, faktor biaya dan ketiadaan waktu luang harus memupuskan keinginan saya. Apalagi saat itu saya harus menabung untuk pernikahan.
L'Arc~en~Ciel
L'Arc~en~Ciel. Gambar diambil dari minitokyo.net


Bukan hanya konser KoRn dan Laruku yang terpaksa saya lewatkan, ajang Hammersonic yang juga merupakan festival musik cadas pun harus masuk dalam daftar absensi, termasuk yang terbaru: konser Metallica di Jakarta. Metalheads mana yang tak ingin hadir di Hammersonic—pesta musik cadas yang dimeriahkan oleh band-band cadas internasional yang punya nama besar, seperti CANNIBAL CORPSE, CRADLE OF FILTH, OBITUARY, AS I LAY DYING, DYING FETUS, dan sebagainya?

Hammersonic 2013
Hammersonic. Gambar diambil dari gerilyamagazine.com


Lalu Metallica? Siapa yang tak kenal band legendaris yang mendobrak semua definisi tentang heavy metal pada masanya? Metallica muncul saat dunia sedang dilanda demam rock progresif di era 80-an. Metallica berani tampil beda dengan distorsi yang lebih kental, karakter vokal yang lebih gahar, dan lirik yang lebih berani. Menonton langsung konser mereka adalah impian setiap metalheads, termasuk saya. Namun, sekali lagi, itu hanyalah sebatas impian. Selain biaya dua kali lipat yang harus saya keluarkan—karena mengajak istri, tak adanya waktu luang juga menjadi alasan kali ini. Memang saya dan istri bisa mengambil jatah cuti, namun bagi perantauan seperti saya, jatah cuti sangat berarti untuk menemui keluarga di Jawa Timur.
Metallica
Metallica. Gambar diambil dari fanpop.com


Penyiksaan saya tidak berhenti sebatas grup band idola, namun juga saat tim sepakbola favorit melakukan tur dan bertanding di Jakarta. Sebut saja BAYERN MUNCHEN, AC MILAN, dan yang terbaru, CHELSEA. Akhirnya, menikmati aksi Franck Ribery, Philipp Lahm, Bastian Schweinsteiger, Eden Hazard, dan Frank Lampard cukup melalui layar kaca atau internet.  Alasannya tetap sama: Biaya dan ketiadaan waktu.

Bastian Schweinsteiger, Philipp Lahm, & Franck Ribery dari Bayern Munchen
Bastian Schweinsteiger, Philipp Lahm, dan Franck Ribery; Trio idola saya di Bayern Munchen. Gambar diambil dari sportal.de

Eden Hazard & Frank Lampard dari Chelsea
Eden Hazard dan Frank Lampard; Duo idola saya di Chelsea. Gambar diambil dari thesun.co.uk

Lalu apa hubungannya dengan istri saya tercinta? Seperti saya tuliskan di awal blog, istri juga jauh dari jangkauan karena terpisah dan berbeda kota. Saya tinggal dan bekerja di Kota Banda Aceh, sedangkan istri tinggal dan bekerja di Kota Medan. Meskipun begitu, khusus untuk yang satu ini, saya rela mengeluarkan biaya ekstra dan waktu lebih untuk sekadar bersamanya. Setidaknya saya pulang ke Kota Medan setiap dua pekan, dan saat kami berkumpul, saya juga harus menyediakan waktu lebih bersamanya yang berarti saya juga harus absen dari kantor selama beberapa hari dan merelakan tunjangan presensi kerja dipotong. Tak masalah, saya lebih mencintai istri ketimbang musik heavy metal dan tim sepak bola favorit.

Istri saya memberikan pengertian lebih banyak mengenai kehidupan, lebih daripada apa yang telah diajarkan oleh musik heavy metal. Dan tahukah Anda bagian terbaiknya? Istri bisa menerima musik heavy metal dalam hidupnya dan bahkan terkadang kami menikmatinya bersama-sama, meski dengan cara kami masing-masing, seperti saat menonton konser TERROR di Kota Medan. Selama istri selalu mendampingi selamanya, saya pikir tak akan keberatan untuk kehilangan beberapa momen absen di konser grup band idola dan pertandingan tim sepak bola favorit. Dan apabila ada keajaiban SlipknoT menggelar konsernya di Indonesia, saya dan istri pasti akan hadir.

Cecen Core & Epi Friezta Dewi Hasibuan di konser Terror di Medan
Saya dan istri saat menonton konser TERROR di Kota Medan


Salam Dua Jari,

Cecen Core
ARISANDY JOAN HARDIPUTRA / CECEN CORE


















Terima kasih kepada sahabat-sahabat lama saya yang pernah berbagi pengalaman, berbagi panggung, dan jamming bareng di KEP's dan LOW LIPID:

Anas 'Gogon';
Wahyudiono 'Wawan';
Susetyo 'Donok';
Didik 'Konyeng'; dan
Noven.

Sahabat-sahabat lama saya di BRISICK:

Stevano;
Rangga 'Jungos';
Ony 'Ndok';
Anas;
Gandhu; dan
Adi.

Juga kepada rekan-rekan band semasa sekolah dulu yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu disini, juga rekan-rekan band di Jakarta yang pernah berbagi panggung, berbagi ilmu tentang musik, dan memberikan kesempatan bagi saya untuk mengenal mereka. Terima kasih.

Baca juga blog saya tentang musik metal di tautan berikut:

Musik Metal: Di Balik Segala Sensasi dan Kontroversinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention