Bob dan Cathy, Dua Ekor Kucing yang Merefleksikan Kehidupan

Bagian I: Bob


Saya dan istri dibesarkan dari keluarga pencinta kucing. Sejak kecil kami akrab dengan keberadaan dan berbagai tingkah hewan berbulu ini. Saya tak ingat lagi berapa ekor kucing yang telah menjadi penghuni tetap di rumah. Perpisahan dengan hewan-hewan ini hampir tak pernah mudah. Sebagian mati karena sakit, diracun orang, atau diculik orang, sebagian lagi kami berikan kepada orang lain yang kami anggap membutuhkan terapi kucing.

Istri saya, tak jauh berbeda. Perbedaannya adalah, jika keluarga saya berbagi tempat tinggal dengan satu atau dua ekor kucing, keluarga istri juga berbagi atap dengan banyak kucing. Jumlahnya memang relatif, tapi menurut saya tujuh ekor adalah jumlah yang bisa dibilang banyak.

Setelah menikah, saya dan istri menempati rumah yang berbeda dengan rumah keluarga, meskipun tak bisa dibilang tinggal bersama karena saya bekerja di Kota Banda Aceh, sedangkan istri bekerja dan menempati rumah kontrak di Kota Medan. Saya hanya bisa bertemu istri di akhir pekan. Istri sempat mengutarakan keinginannya untuk memelihara seekor anjing. Saya menyetujui dengan syarat anjing yang akan kami pelihara nantinya harus anjing yang berbadan besar; mungkin jenis Golden Retriever atau Husky. Alasan saya, anjing-anjing jenis ini berhati lembut (ya, anjing paling baik, setia, dan lembut biasanya berasal dari ras dengan ukuran badan besar). Lagipula saya tidak tahan dengan jenis-jenis anjing kecil, mereka biasanya cerewet dan tidak ramah. Tapi memang kodrat kami berdua yang lebih akrab dengan kucing, akhirnya kehidupan kami pun tak jauh-jauh dari ikon Garfield ini.

Suatu hari, seekor kucing jantan berwarna jingga mendatangi rumah kami dan meraung-raung—mungkin mencoba mencari perhatian kucing betina. Dari tampilan fisiknya, saya langsung tahu ia adalah kucing liar yang biasa hidup di jalanan: Badan penuh bekas luka, bulu dan kaki yang kotor, darah mengering di ujung mulutnya. Satu hal yang tak biasa adalah si pejantan ini tak mewaspadai manusia di dekatnya, ia sama sekali tidak menunjukkan rasa takut saat saya mendekatinya. Sepertinya ia adalah kucing jantan yang telah melalui banyak cerita kehidupan di luar sana (saya yakin sebagian besar penuh dengan cerita perjuangan dan kekerasan). Sikapnya menunjukkan karakter yang pantang menyerah atau tunduk pada siapapun. Bahkan saat saya mendekatinya, ia hanya duduk dan mengeong lembut kepada saya seakan dia mengerti saya tak akan menyakitinya.

Sikap tenangnya itu malah membuat saya makin penasaran dan ingin sekali mengelusnya. Saya perlahan menjulurkan tangan mencoba menggapainya. Si jantan tetap diam, membuat saya justru waspada akan serangan mendadak (percayalah, sebagai pencinta kucing, saya sudah 'akrab' dengan berbagai macam cakaran dan gigitan mereka). Tapi, serangan mendadak tak pernah ada, si jantan menerima belaian lembut saya sambil mengeong, bahkan akhirnya dia menggosok-gosokkan badannya ke lengan dan kaki saya. Saya memahami tabiat ini, ia telah menganggap saya sebagai miliknya dan ia membuat suatu ikatan dengan saya. Benar saja, pertemuan yang tadinya berlangsung singkat, kini menjadi sebuah ikatan unik antara dia dengan saya dan istri.

Bob, begitu nama yang diberikan istri saya pada si jantan. Nama itu terinspirasi dari sebuah buku berjudul A Street Cat Named Bob: Persahabatan Seorang Pengamen dan Kucingnya yang Bertahan Hidup dan Menemukan Harapan di Jalanan, karya James Bowen. Bob terbiasa hidup sebagai kucing jalanan yang perkasa, ia tak pernah singgah lama di rumah kami. Ia tetap menjalani kodratnya sebagai kucing jalanan yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah—berpetualang, berburu, menikmati kehidupannya tanpa batasan aturan, bebas, tak terkekang. Namun demikian, ia tetap menyempatkan waktu untuk pulang ke rumah, menikmati makanan kucing yang selalu kami sediakan saat ia pulang dan beristirahat di rumah, merebahkan tubuhnya di lantai keramik yang dingin, menggelungkan tubuhnya ke kaki kami, menuntut untuk dibelai.

Jika kami membelainya, Bob tiba-tiba berubah menjadi kucing yang sangat manja. Ia akan memejamkan mata, mengangkat kepalanya, lalu seketika membantingkan tubuhnya ke lantai atau ke lengan kami untuk berbaring. Momen saat ia menggunakan tangan atau kaki kami untuk bersandar benar-benar mengubah pandangan tentang Bob—si kucing liar nan perkasa. Bob paling suka saat saya membelai bagian perutnya. Saat ia berbaring, terkadang saya meletakkan kepala saya di atas badannya, Bob tak pernah keberatan.

Bob adalah gambaran ideal untuk sosok yang sangat menikmati hidupnya, tak pernah tunduk terhadap sistem yang korup dan tak beretika. Sosok yang liar, tak kenal takut, melalui banyak bahaya demi mempertahankan hidup dan membela dirinya, serta menjalani hidup dengan mandiri. Meskipun demikian, ia tak pernah lupa dan selalu menyempatkan waktunya untuk pulang ke rumah—tempat di mana kita merasa aman dan nyaman, tempat di mana kita bisa beristirahat meski sejenak untuk melepaskan kejenuhan, kelelahan, letih, dan rasa muak akan hal-hal negatif di dunia luar. Bob adalah sosok ideal untuk menggambarkan meskipun betapa liar dan nakalnya diri kita, tetap saja membutuhkan belaian manja dan kasih sayang dari orang-orang terdekat. Saat dunia mencoba menekan kita, yakinlah bahwa ada satu tempat yang dihuni oleh orang-orang yang akan selalu menjaga dan mendukung kita, tak pernah membiarkan kita jatuh terlalu lama. Bagi saya, tempat itu adalah rumah dan orang itu adalah istri.

Bob, si kucing jalanan
Bob, si kucing jalanan, sedang bersantai di rumah

Arisandy Joan Hardiputra & Bob
Saya dan Bob yang sedang menikmati istirahatnya di rumah

Melihat Bob, saya seperti bercermin. Setiap manusia pasti memiliki cerita kehidupannya sendiri. Tak semua jalan kehidupan yang kita tempuh membawa kita pada tujuan, impian yang terwujud, atau harapan yang terkabul. Saya pernah melakukan banyak hal buruk saat remaja dulu, bahkan beberapa hal masih terbawa hingga kini. Kehidupan yang jauh dari keluarga sempat membuat saya frustrasi, kehidupan romansa saya juga pernah jatuh ke lubang terdalam. Tak adanya orang dekat sempat membuat saya tak terkontrol dan lupa diri. Terbiasa hidup sendiri membuat saya seakan tak memiliki beban untuk berbuat atau melakukan hal negatif dan merusak diri. Namun segalanya menjadi lebih teratur, terkontrol, dan nyaman saat saya mengenal dekat dengan pasangan saya (kini telah menjadi istri). Kesabarannya yang seakan tak berbatas membuat saya perlahan menyadari nilai dan makna kehidupan.

Kehidupan tidak melulu tentang saya dan memuaskan ego, tapi juga tentang keluarga dan banyak orang. Cerita kehidupan bukan hanya terjadi di rumah, di kantor, atau di jalanan, namun juga terjadi di tempat lain. Jalinan kehidupan bukan hanya tentang saya dan keluarga; saya dan dirinya; saya dan atasan; atau saya dan para sahabat. Kehidupan juga tentang hubungan antara manusia dengan Penciptanya.

Istri saya mengajarkan banyak hal, bahkan saat ia tidak sedang bersama saya atau saat ia tidak menyadari saya mengamatinya. Istri saya juga mengajarkan arti kedamaian dalam senyumannya. Ketika saya terjatuh atau sakit setelah berbuat hal bodoh, ia selalu ada untuk merawat saya. Saya menjadi lebih waspada setelah menyadari masih ada orang-orang terdekat yang mengkhawatirkan saya, saya tak lagi sembrono dan lebih banyak melakukan perhitungan. Dan yang paling penting, setelah berpetualang, saya selalu punya tempat tujuan untuk kembali.

Arisandy Joan Hardiputra & Bob

Bagian II: Cathy


Suatu hari, saya melihat tetangga depan rumah membawa pulang seekor kucing anggora. Sepertinya mereka baru saja mengadopsi atau memindahkannya. Kucing itu diletakkan dalam kurungan dari kawat besi. Dari fisiknya saya langsung tahu si anggora berjenis kelamin betina. Wajahnya murung karena tak ada satupun kucing yang layak untuk diletakkan dalam kurungan, kucing bukanlah burung. Si anak tetangga mengangkat kurungan—dengan kucing di dalam—dan menggotongnya kemana-mana. Si kucing makin merasa tidak nyaman dan ketakutan. Dalam hati saya berkata, "Dasar amatir tak punya hati!" 

Hari demi hari berlalu, suatu hari ketika saya sedang berduaan dengan istri di rumah, si anggora betina terlihat duduk di teras rumah kami. Karena merasa penasaran, saya mendekatinya, namun tak seperti Bob, si betina kali ini menjauh. Respons berbeda ditunjukkan saat istri coba mendekati, si betina hanya pasrah dan merelakan bulu lebatnya dibelai. Bahkan, ia merasa keenakan dan akhirnya bermanja-manja dengan belaian lembut kami. Seperti halnya kucing lain sejenisnya, anggora ini memiliki hidung dan moncong pesek, bahkan bisa dibilang tak punya moncong sama sekali. Bulunya lebat dan panjang berwarna paduan putih-coklat-hitam. Ada sedikit bekas luka di hidung dan kepala, saya duga akibat tergores kawat dari kurungannya.

Kami mencoba memberinya makan, namun tak seperti si Bob, si betina ini menolak susu dan makanan dingin. Ia hanya menikmati belaian dan memilih tidur di ruang depan rumah kami. Sampai akhirnya anak tetangga meminta kucingnya dan membawanya pulang untuk dikurung kembali. Bagaimana mungkin seekor kucing tinggal dalam kurungan? Kucing adalah hewan penjelajah dan petualang, mereka penggemar tempat-tempat tinggi. Jika tak ingin kucing keluar rumah, kucing bisa dibiarkan bebas berkeliaran di dalam rumah. Atau jika tidak mampu menjaga kucing, sebaiknya tidak 'memelihara' kucing sama sekali!

Kucing juga makhluk hidup yang memiliki perasaan. Setiap ada kesempatan, si betina datang ke rumah kami dan memilih untuk berdiam diri dalam rumah. Sepertinya, dia merasa lebih disayangi di rumah kami sekaligus merasa trauma dan ketakutan di rumah asalnya. Saat kami perhatikan, si betina ini selalu memilih tempat yang tersembunyi dari pandangan orang luar dan menjauhi pintu depan rumah kami—saya dan istri selalu membuka pintu rumah karena Bob sewaktu-waktu pulang. Jika pintu depan tertutup, Bob akan meraung-raung dan membuat suara berisik hingga pintu dibuka. Bahkan saat kami meletakkan makanan dekat pintu depan, si betina sama sekali tak mau mendekat.

Kami merasa kasihan sekaligus senang karena ada seekor kucing cantik sering datang ke rumah. Saat saya dan istri keluar rumah, kami mengeluarkan si kucing betina, segera ia akan berlari menuju ke teras belakang—tempat kami menjemur pakaian—dan bersembunyi. Saat meninggalkannya di luar, kami merasa iba karena membayangkannya akan dikurung atau disiksa lagi oleh anak tetangga. Namun, hal yang kami temui setelah kembali ke rumah benar-benar mengejutkan: Si anggora betina langsung muncul dari tempat persembunyiannya di teras belakang begitu mendengar suara motor kami. Saat membuka pintu depan, ia langsung masuk ke rumah. Kami menduga sepanjang hari ia bersembunyi di belakang rumah, tak pernah mau kembali lagi ke rumah tetangga.

Katie, begitu istri saya memanggilnya (walaupun saya lebih suka menuliskannya: Cathy. Bahasa Inggris, Cat = Kucing). Kali ini namanya terinspirasi dari buku berjudul Katie: Kisah Nyata Tentang Anjing Lucu yang Menyatukan Para Tetangga Menjadi Satu Keluarga, karya Glenn Plaskin. Semakin hari, Cathy semakin enggan keluar dari rumah kami, ia terus menikmati zona nyamannya sekaligus bersembunyi dari 'majikan'nya yang kejam. Seharian ia akan berada di dalam rumah, menjilati tubuhnya, makan, dan tidur. Di rumah, kami selalu menyediakan makanan kucing dalam kemasan. Sepertinya kali ini kami harus menambah jatah makanan karena bertambah satu lagi anggota keluarga. Dan benar saja, Cathy sama sekali tidak mau pulang ke rumah tetangga. Sampai-sampai kami cemas dan merasa segan, tapi tak apalah, demi menyelamatkan satu lagi makhluk Tuhan yang indah dan lucu. Lagipula seumur hidup, kami belum pernah memiliki seekor kucing berjenis anggora.

Namun tak seperti Bob yang berjiwa 'preman', Cathy memilih-milih makanannya. Dia menolak makanan dingin dan susu dingin. Kami harus mengeluarkan makanan kucing dari lemari es dan menunggu hingga mencapai suhu ruangan, atau terkadang saya menghangatkannya lebih dulu. Cathy juga menghabiskan banyak waktu hanya untuk menjilati bulu-bulu lebatnya, benar-benar pesolek sejati. Cathy akan dengan sabar menunggu saat kami menyiapkan makanan untuknya di dapur. Hal yang menjadi hiburan bagi saya dan istri adalah saat Cathy berakrobat supaya diberikan makan. Ia akan mengeong pelan sambil mengangkat kedua kaki depannya dan berjalan menggunakan kedua kaki belakangnya.

Sangat berbeda dengan Bob yang pantang menunggu. Insting dan jiwanya yang 'pemburu dari jalanan' menuntutnya untuk tak membuang-buang waktu. Saat kami menyiapkan makanan, ia akan naik ke meja dapur dan mencoba merebut makanan dari tangan kami atau mencuri-curi waktu makan (terkadang dia juga mencuri makanan kami). Berapa kalipun istri membentaknya, mengetok kepalanya, atau menyentik telinganya, Bob pantang diatur. Usaha istri mengusirnya hanya membuat saya tertawa karena saya memahami karakter dan jiwa liar Bob.
Arisandy Joan Hardiputra & Cathy
Saya dan Cathy

Aksi akrobatik Cathy, si kucing anggora betina
Aksi akrobatik Cathy saat ia meminta makanan

Cathy adalah gambaran bagaimana seorang wanita seharusnya diperlakukan dan berlaku. Penuh kelembutan, ia akan mencoba selalu tampil cantik setiap saat untuk menyenangkan orang-orang terdekatnya, ia menuntut untuk dihargai dan diberikan pelayanan, makanan, dan tempat perlindungan yang layak dan pantas. Ia menunggu untuk dilayani, namun tidak memberikan kesan agresif dan murahan. Namun di balik keglamorannya, Cathy akan mendesis setiap kali ada kucing jantan lain yang mencoba mendekatinya. Sebaliknya, Cathy malah bersedia berbagi tempat tinggal dan tenang saat Bob ada di dekatnya.
Arisandy Joan Hardiputra & Cathy


Cathy, si kucing anggora betina

Saya pernah merasa dekat dengan seekor kucing betina bernama Thabby. Bahkan saya juga pernah menulis blog tentang Thabby yang begitu manja kepada saya. Namun demikian, Bob dan Cathy sama sekali berbeda dengan Thabby. Bob dan Cathy tidak bisa menggantikan posisi Thabby sebagai kucing kesayangan saya dan menghapus kenangan bersamanya, namun keduanya tetap memiliki karakternya masing-masing. Persamaannya adalah mereka semua adalah terapi bagi jiwa dan mengajarkan banyak hal tentang kehidupan kepada saya dan istri. Tak ada kucing yang tak istimewa.

baca juga blog saya berjudul: Tribute to Thabby: Sang Ratu Kucing yang Memiliki Perasaan Seperti Manusia

Hingga saat blog ini ditulis, Bob dan Cathy masih menjadi bagian dari keluarga kami. Cathy tinggal di rumah kami hingga tetangga memergoki dan membawanya pulang (dan Cathy akan kabur lagi ke rumah kami tiap ada kesempatan), dan Bob—si begundal jalanan—akan menuntut haknya untuk makan setelah lelah seharian berpetualang di jalanan. Ia juga masih menjadikan meja dapur kami sebagai wilayah berburunya.

Keberadaan Bob dan Cathy membuat saya sedikit tenang saat meninggalkan istri sendirian di Kota Medan. Cathy selalu setia menunggui istri saat bekerja dan menyambut di depan pintu sekembalinya dari kantor. Bob ... tak banyak yang bisa diceritakan dari Bob, ia akan tetap menjadi Bob 'si Liar', namun tak peduli berapa lamapun dia berpetualang di luar rumah, ia akan selalu menyempatkan dirinya setiap hari untuk melihat keadaan istri saya, terkadang ia akan memanjat dinding di sebelah rumah kami dan bertengger di atasnya, melihat kondisi rumah melalui jendela samping.

Memperhatikan kombinasi karakter antara Bob dan Cathy mengingatkan saya akan dua orang yang memiliki kepribadian yang hampir sama. Bob dan Cathy adalah refleksi kehidupan saya dan istri; dan mungkin juga bagi banyak pasangan lain di luar sana. Anda mungkin?


Salam Meong,

Arisandy Joan Hardiputra
ARISANDY JOAN HARDIPUTRA














Komentar

  1. pecinta kucing ya bang ARISANDY JOAN HARDIPUTRA, keren bg

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Brother.
      Saya emang pencinta kucing sejak kecil.

      Hapus
  2. Wahh.,Asik bnget tu kucing ya bg...

    nyantai, makan, tidur..:D

    Mmpir di blog ane ya bg..:D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya juga spesies kucing. Sehari mereka bisa tidur hingga 22 jam.

      Hapus
  3. Blognya bgus syg..makin happy ada katie n bob d rmh. Smoga wkt cepat brlalu biar kita bs ngumpul lg ya sy.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin!
      Makasih, Cin.
      Udah bosen tinggal & tidur sendirian.

      Hapus
  4. Balasan
    1. Bagus, Brother!
      Semoga tau juga cara merawat & menjaganya.

      Hapus
  5. CEN..jangan lupa bawa kucingnya ke dokter scara reguler....:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gimana mo dibawa ke dokter secara reguler, Ty? Kan gak ikut punya. Tapi di rumah sedia obat sakit untuk kucing kok.

      Dibawa ke dokter paling kalo udah sakit.

      Hapus
  6. Bukunya bagus juga itu beli online bisa kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seharusnya bisa sih kalo stoknya masih tersedia.

      Hapus

Posting Komentar

Setiap bentuk penyalinan (copying) blog ini harus menyertakan link/URL asli dari Blog CECEN CORE.

Postingan populer dari blog ini

Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi

Cerita Liburan Long Weekend di Kota Bandung Bersama Keluarga

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention