Sepenggal Kisah Lebaran 2011, Pernikahan Mas Gegen, & Liburan Ke Bandung

Momen Lebaran 2011


Jumat, 26 September 2011. Saat itu jarum jam di tangan saya menunjukkan pukul 14.55 WIB ketika saya menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya. Masih segar dalam ingatan saya ketika meninggalkan tempat ini setahun lalu. Masih dalam momen yang sama setiap setahun sekali: mudik lebaran.

Hembusan angin segar langsung menerpa wajah saya begitu melangkah keluar dari pintu pesawat jenis Airbus 320 dari maskapai penerbangan berlabur warna kebesaran merah-putih. Rasanya lega setelah melalui tiga jam penerbangan yang membosankan. Setelah mengambil barang-barang saya yang dititipkan di bagasi, saya melangkah keluar dengan sedikit gugup. Entahlah, sudah sejak lulus SMU—tepatnya tahun 2001—saya sudah hidup terpisah dengan keluarga karena harus menjalani kuliah di Program Diploma I Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) di Cimahi, Jawa Barat, tetapi setiap kali saya melakukan ritual ‘pulang kampung’, saya selalu merasa gugup saat akan bertemu dengan keluarga. Apalagi saat melihat kedua orang tua saya yang semakin tahun terlihat semakin menua.

Beruntungnya Anda yang setiap hari bisa berkumpul dengan keluarga dan tidak menyadari perubahan fisik yang terjadi pada orang-orang terdekat Anda—tentunya pada diri Anda sendiri juga. Bagi perantau seperti saya, perubahan itu terlihat sangat nyata dan itu membuat miris hati saya, kalau tidak boleh dibilang sedih. Sepertinya kerutan di wajah kedua orang tua saya bertambah dari tahun lalu ketika saya terakhir bertemu dengan mereka. Adik-adik saya juga terlihat makin dewasa. Hmmm, masih ingat jelas saat-saat saya masih bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak ketika saya sedang memasang tampang lucu atau ‘dipaksa’ mengganti popok mereka.

Cen… Cen…!” Panggilan itu menyadarkan saya dari lamunan. Saya sudah mengenali suaranya tanpa menoleh, adik pertama saya, Dino. Memang dia yang menawarkan diri untuk menjemput saya di bandara. Ternyata dia tidak sendirian, ayah saya juga turut menjemput. Tak banyak perubahan kali ini yang terlihat pada ayah saya, kecuali tentunya fisiknya yang tidak seatletis dan massa ototnya yang tidak sepadat seperti beberapa tahun lalu (atau mungkin bertahun-tahun lalu). Tugas ayah saat itu hanya memastikan saya sudah tiba di Surabaya. Setelah itu, ayah harus kembali ke kantornya.

Saya melanjutkan perjalanan pulang ke Mojokerto berdua dengan Dino. Perjalanan dari bandara ke rumah saya di Mojokerto biasanya memakan waktu satu jam dengan mengendarai sepeda motor. Dengan pertimbangan kondisi lalu lintas yang padat, barang-barang bawaan yang sedikit banyak, dan jam riding yang lebih banyak dari adik saya, akhirnya saya putuskan untuk mengendarai motor dan membonceng Dino. Sialnya, ketika melintas dengan kecepatan tinggi di jalur ring-road Krian, Sidoarjo, saya merasakan ada sedikit keganjilan di bagian belakang motor. Tak berapa lama, motor tiba-tiba oleng. Ya, saya langsung menyadari ban belakang kempis/bocor. Kondisi ini tentunya sangat berbahaya, apalagi kami melintas di jalur ring-road yang dipenuhi dengan banyak kendaraan berat berkecepatan tinggi. Tapi seperti yang saya tuliskan di atas, jam riding saya yang tinggi segera mengaktifkan insting saya secara spontan untuk mengendalikan motor secara benar.

Sekadar tips bagi Anda—para rider—jika mengalami hal yang sama, adalah hal yang sangat berbahaya jika tiba-tiba ban Anda kempis saat riding dengan kecepatan tinggi (atau bahkan membawa beban yang berat). Usahakan tetap tenang dan mengarahkan sedikit demi sedikit motor Anda ke bahu/sisi jalan. Sangat tidak dianjurkan untuk langsung menekan/menginjak tuas rem karena perubahan bobot yang tiba-tiba malah akan menghilangkan keseimbangan dan grip (daya cengkeraman ban ke aspal). Juga tidak dianjurkan untuk langsung mengarahkan motor keluar dari jalanan aspal karena pasir atau semak-semak justru licin dan bisa membuat selip sehingga kemungkinan Anda terjatuh sangat besar. Tindakan yang benar adalah memompa (menekan dengan perlahan lalu melepas kembali secara berulang-ulang) pedal/tuas rem sambil mengarahkan laju motor ke bahu/sisi jalan. Setelah dirasa kecepatan sudah pelan, barulah membawa motor Anda keluar dari lintasan aspal menuju pinggiran jalan. Jangan pernah berhenti dalam lintasan karena Anda berisiko tertabrak oleh kendaraan lain!

Beruntung bagi kami karena berhenti tepat di tempat tukang tambal ban berada. Setelah menunggu beberapa lama—sampai kami terpaksa harus berbuka puasa di jalanan, kami pun melanjutkan perjalanan dan tiba di rumah sekitar setengah jam kemudian. Ibu adalah orang pertama yang saya salami. Sepertinya ada ikatan tertentu antara ibu dengan putranya, sehingga rasa emosional yang kami rasakan jadi lebih kental. Tapi saya juga sedikit gondok saat itu karena ibu lebih memilih langsung menyantap pancake durian yang saya bawa sebagai buah tangan ketimbang memeluk putranya. Kedua orang tua saya memang penggemar berat buah durian. Perasaan gondok saya langsung berlalu ketika melihat masakan rawon di meja makan. Rawon adalah masakan khas Jawa Timur kesukaan saya. Begitu selesai mandi, saya langsung melahap nasi rawon dua piring. Aaah, tak ada yang mengalahkan kelezatan nasi rawon buatan ibu saya.

Satu hal yang menjadi kewajiban bagi saya saat pulang ke Jatim adalah wisata kuliner. Saya memang betah menetap di Medan sejak tahun 2003. Tapi alasan terbesar yang membuat saya kurang begitu suka dengan kota Medan adalah kulinernya. Wajar saja karena saya tipe orang yang tidak bisa makan masakan pedas tipikal kota Medan, atau makanan yang terlalu ribet dan bercampur-campur. Karena itu, kuliner wajib saat saya mudik diantaranya adalah nasi rawon, kupang, tahu telur (kami biasa menyebutnya tahu tek-tek), dadar jagung ala ibu saya, sayur kunci, gado-gado, bali, nasi goreng saus ala Jatim, sate ponorogo, dan sebagainya. Banyak kan?! Sayangnya hanya seminggu waktu saya sehingga membuat saya tidak bisa menikmati keseluruhan kuliner ala Jatim. Namun tetap saja menu wajib adalah nasi rawon, gado-gado, kupang, dan tahu tek-tek.

Senin, 29 Agustus 2011. Saya dan keluarga mengunjungi rumah nenek di Surabaya, ritual yang rutin kami lakukan setiap tahun menjelang lebaran. Kami menginap di rumah nenek dan merayakan Idulfitri keesokan harinya. Tapi lebaran tahun ini keluarga besar nenek (ibu dari ayah) tidak semua merayakan Idulfitri hari ini. Sebagian lagi baru merayakan pada esok lusa, 31 Agustus 2011. Mungkin ini akibat lambannya pemerintah mengumumkan perayaan Idulfitri.  Tapi tak perlu dijadikan masalah, karena intinya semua untuk kebaikan umat muslim, tak perlu dilebih-lebihkan, apalagi dijadikan suatu kontroversi.

Generasi keluarga besar Soim
Saya (berdiri paling atas sebelah kanan) berfoto bersama sepupu dan saudara saat lebaran 2011

Selama masa silaturahmi di Surabaya, saya sempatkan berwisata horor ke Rumah Hantu Darmo. Konon, menurut cerita yang beredar di masyarakat (urban legend), beberapa tahun lalu, seluruh penghuni rumah mewah ini dibantai dalam rumah. Sekarang Rumah Hantu Darmo dikenal sebagai salah satu rumah paling berhantu di Indonesia. Sayangnya wisata horor yang saya lakukan di tengah malam harus berakhir setelah dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian. Maklum saja, daerah sekitar Rumah Hantu Darmo kerap digunakan oleh para muda-mudi untuk sekadar nongkrong dan begadang menghabiskan malam, bahkan berpesta miras. Tak jarang aparat kepolisian berpatroli di sekitar kawasan tersebut.

Rumah Hantu Darmo
Rumah Hantu Darmo. Kerap dijadikan ajang uji nyali di malam hari


Setelah momen lebaran berakhir, saya bergegas kembali ke kota Medan pada hari Sabtu, tanggal 3 September 2011. Hanya dua minggu saya beraktivitas di kantor sebelum akhirnya kembali mudik ke Mojokerto untuk menghadiri perayaan yang lebih besar–setidaknya bagi keluarga saya: Hari pernikahan kakak lelaki saya, Mas Gegen dengan Mbak Tutik.


Momen Pernikahan Mas Gegen—Mbak Tutik


Jumat, tanggal 16 September 2011, tepat pukul 15.00 WIB saya kembali menginjakkan kaki di Bandara Internasional Juanda di kota Surabaya. Masih tetap adik pertama saya, Dino yang menjemput ke bandara, tapi kali ini ditemani oleh paman dan seorang rekan kerja ayah saya. Perjalanan kali ini memakan waktu agak lebih lama karena kami menggunakan mobil. Mengingat banyaknya barang bawaan saya dalam tas—sebagian berisi kue-kue untuk acara walimahan pernikahan Mas Gegen, maka mobil adalah alternatif transportasi yang lebih aman dibandingkan motor. Sesampainya di rumah orang tua, rekan-rekan kerja ayah saya telah berkumpul untuk acara walimahan. Acara walimahan sendiri dibagi menjadi tiga sesi.

Sesi pertama (sore hari) dikhususkan untuk para tamu yang merupakan rekan kerja ayah saya. Sesi selepas Magrib, untuk kaum pria (bapak-bapak) yang tinggal dekat rumah, dilanjutkan dengan kaum wanita. Setelah itu, acara malam adalah acara bebas untuk kerabat dan keluarga besar. Acara walimahan malam itu saya sendiri kurang tahu karena saya lebih menyibukkan diri untuk mempersiapkan acara ijab-kabul (akad nikah) Mas Gegen esok harinya.

Walimahan kaum wanita/ibu
Walimahan kaum ibu

Sabtu, 17 September 2011. Dari sejak pagi, kami telah bersiap untuk prosesi akad nikah. Pukul 08.30 WIB setelah semua dirasa siap, kami bergegas menuju ke rumah Mbak Tutik—tempat berlangsungnya acara.  Sebetulnya ada satu hal yang mengusik pikiran saya: Kenapa orang tua mempelai pria tidak diperbolehkan menghadiri prosesi akad nikah dan ijab kabul? Alhasil, orang tua saya harus tinggal di rumah, sementara Mas Gegen diiringi oleh paman dan bibi saya, termasuk Pakde Diono—anak tertua dari nenek (kakak/mas ayah saya)—sebagai saksi dari pihak pria. Karena pihak wanita belum mempersiapkan saksi, maka Pakde Tris (Wiwik) yang ditunjuk sebagai saksi dari pihak wanita.

Setelah semua siap, Mas Gegen mengenakan kostum khusus untuk mempelai pria saat ijab-kabul. Prosesi akad nikah sengaja tidak dibuat terlalu rumit dan berbelit. Walaupun begitu, tampak jelas kegugupan di wajah Mas Gegen. Mungkin karena terlalu gugup, sampai dia lupa membawa mahar kawinnya berupa uang sejumlah Rp300.000,00 yang disusun dalam sebuah pigora dengan foto kedua mempelai terpasang di dalamnya. Daripada menunggu lama untuk mengambil ke rumah, akhirnya saya meminjamkan uang tersebut untuk mahar. Penyakit lupa memang sering menimpa Mas Gegen. Setahun lalu, saat melangsungkan prosesi lamaran, dia juga meninggalkan cincin kawinnya di rumah. Seandainya giginya tidak menempel, mungkin akan tertinggal juga!

Setelah penghulu menyampaikan sambutan dan beberapa ‘omong kosong’ lain, akhirnya prosesi ijab-kabul dimulai. Hanya dalam satu kali percobaan, Mas Gegen—walaupun tergugup—sukses juga mengucapkan ijab-kabul dan para hadirin langsung berkata ‘Sah’. Artinya, mereka kini telah resmi berstatus sebagai suami-istri. Setelah prosesi ijab-kabul sukses, Mbak Tutik diperbolehkan keluar dari kamar (selama prosesi ijab-kabul, mempelai wanita memang dilarang menampakkan diri) dan menemui suaminya. Setelah bersalaman dengan Mas Gegen dan mereka menandatangani Buku Nikah, keduanya jadi seperti selebritis yang dikerumuni para pengidolanya untuk sekadar berfoto bersama. Satu hal yang lucu, walaupun masa ijab-kabul telah sukses dilewati, namun wajah Mas Gegen masih terlihat gugup. Seluruh badannya juga kaku dengan senyum yang sedikit dipaksakan agar tidak terlihat grogi.

Gegen & Tutik
Mas Gegen & Mbak Tutik setelah disahkan sebagai suami-istri


Setelah serangkaian prosesi akad nikah dan foto bersama selesai, kami makan bersama di kediaman Mbak Tutik sebelum akhirnya pulang kembali ke rumah untuk mempersiapkan acara resepsi pernikahan sore harinya. Tepat tengah hari, para perias telah sibuk mendandani para Pagar Bagus & Pagar AyuPagar Bagus dan Pagar Ayu adalah sebutan untuk para pengiring kedua mempelai saat prosesi temu pengantin sebagai rangkaian acara resepsi pernikahan. Pagar Bagus adalah sebutan untuk para pengiring pria dari kedua mempelai, sedangkan Pagar Ayu adalah para pengiring wanita dari kedua mempelai. Nantinya Pagar Bagus & Pagar Ayu akan dipasangkan saat pengiringan pengantin.

Pagar Bagus & Pagar Ayu dari pihak keluarga saya ada dua pasangan, Dino—adik pertama saya—dengan pasangannya, lalu saya sendiri yang berpasangan dengan sepupu saya, Ayik. Kebetulan pasangan saya sendiri berhalangan hadir. Kedua orang tua saya juga didandani dengan mengenakan baju adat bagi ayah saya dan kebaya untuk ibu saya. Bagi saya sendiri, ini adalah pertama kalinya saya menjadi seorang Pagar Bagus. Keinginan saya untuk mengenakan baju adat Jawa Timur akhirnya tercapai juga.

Pagar bagus dan pagar ayu
Saya & Ayik saat menjadi Pagar Bagus & Pagar Ayu

Pukul 15.30 WIB, iringan pengantin pria menuju ke tempat resepsi pernikahan yang juga berada di rumah mempelai wanita. Prosesi dimulai dengan iringan mempelai pria dan wanita yang masing-masing berdiri di antara kedua orang tua dan diiringi oleh para Pagar Bagus & Pagar Ayu yang berjalan di belakangnya. Kedua mempelai dipertemukan, lalu mempelai wanita mencium tangan mempelai pria dan mengitari mempelai pria hingga tiga kali. Jangan tanyakan ke saya apa artinya, karena saya sendiri juga tidak tahu. Lalu kedua mempelai berjalan beriringan menuju pelaminan, demikian juga dengan kedua orang tua duduk di sisi pelaminan. Selanjutnya, kedua mempelai melakukan prosesi ‘sungkeman’, yaitu duduk berlutut di depan orang tua sambil mencium tangan kedua orang tua, sebagai simbol meminta maaf, memohon ampun atas kesalahan anak kepada orang tua, dan memohon restu atas kehidupan baru yang akan dijalani anak sebagai seorang suami/istri. Bagi menantu, hal ini juga sebagai simbolis untuk meminta izin menjadi bagian keluarga. Lalu bagi orang tua, ‘sungkeman’ juga berarti saatnya melepas anak yang telah dewasa untuk mengarungi bahtera rumah tangganya sendiri. Maka tak heran, saat acara ‘sungkeman’ selalu menjadi saat-saat yang mengharukan. Termasuk bagi kedua orang tua dan mempelai.

Sungkeman Gegen & Tutik
Mas Gegen & Mbak Tutik saat ber-sungkem kepada kedua orang tua saya

Setelah melewati berbagai macam prosesi di resepsi pernikahan, dan duduk beberapa lama di kursi-kursi khusus yang telah disediakan untuk keluarga besar mempelai pria, serta melewati sesi foto bersama kedua mempelai, keluarga besar saya pun meninggalkan tempat resepsi pernikahan digelar. Selanjutnya, resepsi sepenuhnya ditangani oleh pihak keluarga mempelai wanita. Saya dan pasangan memberikan sepasang jam tangan pria-wanita untuk kado pernikahan mereka.

Keluarga Gegen
Mempelai berfoto bersama orang tua dan para pengiring dari pihak pria.

Momen Liburan ke Bandung


Rabu, 21 September 2011. Saya berpamitan dengan keluarga untuk berangkat liburan ke Bandung, sekaligus mengunjungi salah satu sahabat saya sejak kuliah di STAN, Slamet Joko Budiyono. Selalu mengharukan saat harus berpisah kembali dengan keluarga karena setelah perpisahan, baru bisa bertemu kembali setahun yang akan datang saat momen lebaran selanjutnya.

Pukul 06.00 WIB, saya ditemani ayah menuju ke Stasiun KA Gubeng di Kota Surabaya. Tiket KA eksekutif Argo Willis jurusan Surabaya-Bandung pukul 07.45 WIB pagi sudah di tangan. Perpisahan dengan ayah saya tidak semengharukan saat harus berpamitan dengan ibu. Ya, walaupun ada semacam ego yang besar melekat di hati kami masing-masing sebagai dua orang pria dewasa, tapi itu tetap tidak menutupi fakta bahwa kami saling menyayangi.

Sekitar 12 jam perjalanan yang dibutuhkan untuk menempuh Kota Bandung dari Surabaya. Benar-benar perjalanan yang sangat membosankan dan melelahkan. Walaupun ada pramugari KA cantik yang melakukan flirting pada saya, tetap saja otot punggung saya terasa kaku akibat setengah harian terduduk.

Rasanya sangat senang setelah KA berhenti di Stasiun Hall di Kota Bandung. Udara malam yang dingin khas "Kota Kembang" langsung menyambut saya saat menginjakkan kaki di ibu kota Provinsi Jawa Barat.  Rasanya tak sabar ingin segera menghamburkan uang untuk wisata belanja, wisata kuliner, dan jalan-jalan di kota yang juga dijuluki Parijs van Java ini. Terakhir kali saya mengunjungi kota ini, setahun lalu-masih di momen yang sama, saat libur lebaran. Bagi saya, Bandung adalah kota wajib yang harus saya kunjungi setiap liburan mudik. Tak pernah terasa bosan saat berada di kota ini. Begitu banyak kenangan, cerita suka-duka saat saya menghabiskan waktu kuliah selama setahun di sini, dari tahun 2001 hingga 2002. Tak heran jika julukan Parijs van Java disematkan ke kota ini karena suasananya yang romantis dan kaum mudanya yang bergaya modis.

Senyum saya langsung mengembang begitu melihat sosok sahabat saya yang datang menjemput di stasiun. Tanpa banyak menunggu, kami langsung bergegas meninggalkan hiruk-pikuk di stasiun dan singgah untuk menikmati kuliner kegemaran saya: baso tahu ikan dan kembang tahu. Aaah, lezatnya baso tahu yang dipadu dengan hangatnya kembang tahu sepertinya langsung memompa kembali semangat saya setelah dilanda jenuh selama perjalanan. Kembang tahu adalah sejenis makanan khas Tionghoa yang dibuat dari sari bubur kedelai/tahu yang dicampur dengan kuah air jahe yang dilarutkan dengan gula merah. Kembang tahu berkhasiat untuk menghangatkan badan, memulihkan stamina, dan mengobati sakit tenggorokan. Selain itu, kedelai yang kaya protein juga membantu pembentukan otot dan menahan lapar. Sedangkan jahe kaya akan antioksidan.

Kembang Tahu
Kembang tahu

Wisata kuliner malam itu tidak berhenti sampai di situ. Setelah meletakkan barang-barang bawaan, sahabat saya mengajak makan malam di Paskal Hypersquare. Pilihan makan malam saya berupa lomie pangsit dan jus kiwi untuk melepas dahaga. Setelah puas berwisata kuliner malam itu, kami kembali ke rumah sahabat saya. Begitu merebahkan badan di kasur, saya langsung terlelap pulas hingga esok hari.

Kamis, 22 September 2011. Saya menghabiskan sepanjang pagi hingga siang hari di rumah sahabat saya karena dia harus beraktivitas di kantor. Sepanjang pagi setelah sarapan dengan nasi gurih ala Bandung (nasi gurih di Bandung sangat berbeda dengan nasi gurih ala Medan yang ribet dan ‘berantakan’), saya menghabiskan waktu dengan mandi dan nonton koleksi DVD milik sahabat saya. Tepat tengah hari, sahabat saya pulang setelah dia meminta izin dari kantornya untuk diperbolehkan bekerja hanya setengah hari.

Tujuan jalan-jalan pertama saya adalah Istana Plaza (IP) yang hanya berjarak sekitar 10 menit dari rumah sahabat saya dengan menggunakan motor. Dari IP saya membeli sebuah kaos wanita lengan panjang berwarna kuning untuk pasangan saya. Setelah dari IP, kami melanjutkan perjalanan menuju Bandung Indah Plaza (BIP). Dari sini saya juga sempat membelikan baju lengan panjang berwarna putih bermotif bunga-bunga warna pink (yang pastinya juga masih untuk pasangan saya). Kami berdua menyempatkan diri nongkrong di J.CO Donuts & Coffee BIP sambil makan siang. Sahabat saya memilih frozen yoghurt dengan topping beraneka buah. Sedangkan saya memilih Ice Chocolate dengan sepotong donat manis. Setiap momen libur lebaran pasti berat badan saya membengkak hingga lima kilogram, karena asupan kalori dan lemak yang berlebihan, tanpa diimbangi dengan rutinitas berolahraga seperti saat di Medan.

Perjalanan kami lanjutkan dengan ‘berburu’ helm. Kebetulan saya baru memiliki motor baru, Yamaha Xeon warna putih-merah maroon. Setelah berkeliling berbagai toko helm di seputaran kota Bandung, akhirnya saya menemukan helm yang menjadi target saya, KYT Renova warna merah maroon size ‘M’. Setelah malam menjelang, kami bergegas pulang ke rumah setelah terlebih dahulu sahabat saya melakukan presensi pulang kantor. Pilihan makan malam saya kali ini masih baso tahu, namun dengan porsi menggila. Saya memesan empat porsi baso tahu ditambah dengan sup buah untuk minuman pendamping. Bumbu baso tahu yang cukup pedas sukses membuat perut saya mulas sepanjang malam.

Jumat, 23 September 2011. Selepas waktu salat Jumat, saya diajak sahabat dan istri berkeliling kawasan Jalan Braga. Braga dikenal sebagai kawasan yang tata kota dan bangunannya mirip dengan kawasan perkotaan di Eropa. Maklum saja, masih banyak gedung asli peninggalan Belanda di sini. Kebetulan sore itu, kawasan Braga macet total karena disibukkan dengan berlangsungnya Braga Festival untuk memperingati HUT Kota Bandung ke-201.

Cecen di Braga Festival 2011
Saya sedang berfoto di depan sebuah karya seni yang dipamerkan dalam event Braga Festival 2011 untuk memperingati HUT Kota Bandung ke-201

Tempat makan malam hari itu dipilih oleh istri sahabat saya, yaitu di The Kiosk Food Market. Tempatnya sangat nyaman dengan balutan cahaya temaram dari lilin-lilin kecil. Suasana Braga yang penuh dengan para wisatawan dan dikelilingi struktur bangunan yang unik, membuat saya betah berlama-lama di tempat itu. Apalagi ditambah dengan hiburan live music yang dikemas secara unik dengan memadukan musik modern dengan kombinasi peralatan musik dan irama tradisional. Saat itu saya penasaran dengan salah satu menu yang tertulis di daftar menu dan memutuskan mencoba Nasi Daging Bakar Batok Kelapa Mekar Subur sebagai makanan utama, dengan jus kiwi tanpa gula untuk minuman, dan tak lupa baso tahu sebagai makanan pendamping.

Kesan saya setelah mencicipi hidangan utama: RECOMMENDED! Sangat-sangat menggugah selera dan memanjakan lidah saya. Daging Bakar Batok Kelapa Mekar Subur berupa daging sapi yang dibakar dalam batok kelapa dan diolah sedemikian rupa sehingga teksturnya sangat lembut, dicampur dengan berbagai macam bumbu dan rempah yang membuat aromanya begitu wangi. Tak lupa disisipkan timun dan selada sebagai sayuran pendamping. Menu dihidangkan di dalam batok kelapa yang telah dibelah. Pokoknya benar-benar membuat ketagihan. Saya merekomendasikan menu ini jika Anda mampir di The Kiosk Food Market yang berada di kawasan Braga, Bandung. Untuk mengimbangi asupan protein dan lemak dari hidangan utama, saya sengaja memesan jus kiwi tanpa gula yang tentunya bebas lemak dan tinggi antioksidan—walaupun rasanya asam. Baso tahunya sendiri, lagi-lagi membuat saya mulas sepanjang malam karena pedasnya. Setelah makan malam yang membuat perut saya membuncit karena kekenyangan, kami menuju ke Sport Warehouse Braga dan saya membeli sepasang sepatu kasual keren—yang lagi-lagi—untuk pasangan saya. Betapa beruntungnya dia memiliki pasangan pria seperti saya!

Cecen di Kiosk Food Market
Saya berfoto di depan The Kiosk Food Market di kawasan Braga, Bandung

Wisata belanja malam itu tidak berhenti sampai di situ, karena kami langsung menuju kawasan jalan Dago yang terkenal sebagai kawasan wisata belanja karena butik-butik berjajar sepanjang jalan. Walaupun begitu, saya mempunyai butik-butik favorit yang masuk daftar WAJIB dikunjungi, yaitu Episode Factory Outlet dan Blossom Factory Outlet yang letaknya berseberangan. Di Episode, saya (dengan sedikit bosan harus menuliskan ini lagi) membeli dua buah baju hangat untuk pasangan saya (kali ini Anda benar-benar percaya kalau dia adalah wanita beruntung kan?!) dan sebuah jaket hoody keren berwarna hitam untuk saya. Sedangkan di Blossom, saya membeli 2 dua t-shirt keren warna merah dan orange. Di tempat yang sama, setahun lalu, saya sempat bertemu dengan komedian Ade Namnung dan berfoto bareng.

Ade Namnung & Cecen
Ade Namnung dan saya saat berfoto bersama di Blossom Factory Outlet, saat liburan lebaran tahun lalu

Tak terasa malam semakin larut saat kami sedang asyik berwisata belanja. Akhirnya kami pun memutuskan untuk kembali ke rumah dan beristirahat karena esok pagi-pagi sekali saya harus bergegas ke bandara dan pulang ke Medan. Tiket pesawat saya Bandung–Medan pukul 05.45 WIB. Tapi sebelum pulang ke rumah sahabat saya, kami sempatkan mampir ke jalan Gardujati di kota Bandung dan membeli kembang tahu untuk memompa kembali stamina yang telah terkuras.

Sabtu, 24 September 2011. Pukul 04.30 WIB saya bangun dari tidur. Setelah memastikan semua siap dan packing selesai, saya dengan diantar sahabat bergegas menuju Bandar Udara Husein Sastranegara di kota Bandung. Udara dingin yang menusuk tulang pagi itu membuat saya malas mandi dan hanya mencuci muka dengan sabun. Tapi saya tetap percaya diri karena saya yakin bukan hanya saya saja orang di bandara yang tidak mandi. Lagipula, saya masih terlihat keren dan wangi kok.

Tepat pukul 08.00 WIB, pesawat berkelir putih-merah yang saya tumpangi mendarat di Bandar Udara Internasional Polonia di Kota Medan. Begitu keluar dari pintu bandara, saya langsung disambut oleh wajah manis seorang wanita dengan senyuman khasnya. Ya, saya langsung mengenalinya, itu pasangan saya. Saya jadi berpikir, mungkin sayalah pria beruntung yang berhasil mendapatkannya, karena sepertinya semua barang-barang yang saya belikan untuknya masih belum cukup untuk menggantikan senyuman manis itu yang selalu bisa membuat saya merasa nyaman dalam kondisi apapun. Bahkan saat saya harus berpisah dengan keluarga dan sahabat saya, saya merasa seperti kembali ke rumah dengan dia yang menemani.

Sekali lagi, liburan kali ini benar-benar berkesan dan tak terlupakan. Sekali lagi, selamat untuk Mas Gegen dan Mbak Tutik. Semoga bisa menjalankan peran sebagai seorang suami dan istri yang baik, berhasil membina keluarga yang bahagia-sejahtera. Aamiin! Saya secara pribadi mengucapkan terima kasih, khususnya kepada pihak-pihak di bawah ini:

1. Keluarga besar Mbah Soim, khususnya keluarga Om Irianto (Totok) yang tanpa kenal lelah membantu persiapan acara pernikahan Mas Gegen dan Mbak Tutik; Pakde Diono dan Pakde Tris (Wiwik) yang telah bersedia menjadi saksi di acara akad nikah; sepupu saya, Ayik, yang menjadi pasangan saya saat menjadi Pagar Bagus & Pagar Ayu;

2. Keluarga Om Teguh Santoso yang selalu stand-by sebelum dan selama acara walimahan, akad nikah, dan resepsi pernikahan berlangsung;

3. Sahabat saya, Slamet Joko Budiyono dan istri di Bandung. Terima kasih untuk wisata kuliner, wisata belanja, dan liburan yang berkesan dan tak terlupakan. Selalu saya nantikan kedatangan kalian di Kota Medan;

4. Pasangan saya, untuk segalanya yang tidak bisa saya tuliskan di sini (bukan karena privasi atau rahasia, tapi karena saking banyaknya);

5. Semua fihak yang secara langsung maupun tidak langsung, turut membantu suksesnya pelaksanaan pernikahan Mas Gegen dan Mbak Tutik, juga membuat acara liburan saya berkesan.



Salam hangat,
Arisandy Joan Hardiputra


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hours: Film Terakhir Paul Walker yang Menginspirasi Ayah; Sebuah Resensi

Takdirmu Tidak Akan Melewatkanmu

Pengalaman Liburan ke Ancol dan Menginap di Discovery Hotel and Convention